UFP 5 – Arsitektur Partisipatif
Oct 13, 2016Bersiap Bermasyarakat di Dusun Mangunan
Valentina Kris Utami
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
2015
Arsitektur yang hadir di sekitar kita adalah sebah produk budaya. John S. Nimpoeno menjelaskan bahwa arsitektur merupakan proses estetika total sebagai dampak dari pengalaman budaya terhadap kehidupan organis, psikologi, dan sosial. Dalam hal ini arsitektur adalah lingkungan buatan yang menjembatani antara manusia dan lingkungan yang juga sebagai sarana ekspresi kultural untuk menata kehidupan jasmaniah, psikologi, dan sosial manusia. Selanjutnya dari penjelasan tersebut, fungsi arsitektur dapat dipahami sebagai sarana maupun cara berekspresi yang memiliki inti yaitu intervensi untuk kepentingan manusia, tanpa menghilangkan identitas lingkungan itu sendiri.
Arsitek sebagai bagian dari arsitektur itu sendiri memegang peranan penting dalam hal intervensi lingkungan untuk kepentingan manusia. Y. B. Mangunwijaya (1929-1999) sebagai sosok multidimensi (rohaniwan, arsitek, budayawan, sastrawan, pengamat politik, dan pendidikan) yang biasa disapa dengan Romo Mangun, menunjukkan peranannya sebagai arsitek yang mengintervensi sebuah lingkungan di Dusun Mangunan, Kalitirto, Berbah, Sleman Yogyakarta.
Proses intervensi lingkungan khususnya bidang masyarakat dan pendidikan di daerah-daerah miskin sudah dilakukan Romo Mangun sejak lama di berbagai daerah seperti Kali Code, Grigak, dan Kedung Ombo. Keprihatinan akan situasi dunia sekolah (Katholik) di Indonesia yang diantaranya hanya mempersiapkan murid untuk memperoleh ijazah, memperlebar jurang kaya dan miskin, yang akhirnya menjadi produk industri ini menggerakkan Romo Mangun untuk membangun sebuah sekolah formal. Kondisi pada masa itu, sebuah SD di daerah Sleman Yogyakarta, SD Kanisius Mangunan terancam tutup akibat ketiadaan siswa. Di tangan Romo Mangun kemudian SD Kanisius berubah nama menjadi Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental (SDKE) Mangunan pada tahun ajaran 1994/1995. Awalnya SD Kanisius Mangunan berlokasi di pinggir Jl. Jogja-Solo dengan menyewa sebuah pendopo di salah satu rumah. Kemampuan ekonomi masyarakat Dusun Mangunan yang rendah mendorong SDKE Mangunan menjadi sekolah gratis bagi siswa-siswi yang kurang mampu khusunya bagi warga Dusun Mangunan.
SDKE Mangunan merupakan sekolah model yang diharapkan dapat menjadi contoh untuk sekolah dasar lainnya. Sekolah ini tidak memiliki kelas-kelas yang berada di dalam suatu gedung besar eksklusif melainkan hadir di tengah-tengah masyarakat dusun Mangunan dalam rupa kelas-kelas yang berada di dalam rumah-rumah untuk belajar setiap hari. Kelas-kelas ini dicat warna-warni yang ceria dan disukai anak-anak. Teras dan jalan lingkungan yang ada di depan rumah tersebut menjadi lapangan bermain sehingga siswa-siswi yang tanpa mengenakan seragam dapat hidup membaur dengan masyarakat. Tak hanya itu, detail-detail pun digarap sedemikian rupa untuk mendukung perkembangan siswa seperti majalah meja, jendela dengan bentuk-bentuk geometri primer, serta gambar pada dinding yang bersifat mengedukasi. Romo Mangun beranggapan bahwa usia TK dan SD merupakan waktu yang tepat untuk menekankan pembentukan karakter dan mental manusia khususnya dalam kehidupan sosial dan unggah-ungguh di dalam masyarakat. Pengajaran bagi siswa-siswi SDKE yang didasari teori perkembangan kognitif seorang psikolog berkebangsaan Swiss, Jean Pigaet (1896-1980). Dari sana Romo Mangun merumuskan tujuan pokok proses pembelajaran di SDKE, yakni “pemekaran anak yang eksploratif, kreatif, integratif, dan komunikatif ”. Untuk mencapai tujuan tersebut, kepekaan siswa-siswi harus dilatih sejak usia dini. Kepekaan ini tampak pada saat-saat tertentu seperti ikut keliling mengucapkan minal aidin pada saat hari raya lebaran, merayakan natal bersama dengan warga, juga ikut berempati dengan melayat ketika ada masyarakat dusun yang meninggal.
Tahun 1999 adalah tahun dimana Romo Mangun kembali menghadap Tuhan. Sepeninggalan Romo Mangun, SDKE kembali terancam tutup dan tidak menerima siswa baru dikarenakan keepanikan akibat ketiadaan pemimpin pasca meninggalnya Romo Mangun pada Dinamika Edukasi Dasar (DED). DED ialah sebuah lembaga bentukan Romo Mangun yang concern terhadap pendidikan yang salah satunya adalah pengelolaan SDKE. Atas Dorongannya dari Keuskupan Agung Semarang, DED kembali mengelola SDKE dan menerima siswa baru pada tahun ajaran 2001/2002.
***
Rumah-rumah yang disulap menjadi kelas untuk SDKE merupakan rumah warga yang disewa dari pemilik yang berbeda-beda dengan tenggat waktu yang berbeda-beda. Seiring berjalannya waktu, tidak semua rumah dapat diperpanjang kontraknya karena adanya rencana pemilik yang berbeda-beda. Dari sinilah muncul kebutuhan ruang bagi SDKE untuk terus
beroperasi. DED melihat kondisi bahwa alangkah baiknya jika urusan persewaan hanya kepada satu pemilik sehingga dapat mempermudah pengelolaan. Tanah kas desa di bagian timur Dusun Mangunan pun disewa untuk tempat relokasi SDKE pada tahun 2014.
Adapun Ferdinandus Sito Ardianto yang biasa disapa Pak Sito ialah seorang yang bekerja di DED dalam bagian maintenance bangunan-bangunan karya Romo Mangun. Maintenance ini tidak hanya merawat bangunan yang ada secara fisik tetapi juga filosofi yang terkandung didalamnya. Pekerjaannya ini menuntutnya untuk banyak mempelajari karya-karya Romo Mangun, maka ia pun dipercaya oleh DED sebagai ‘penerjemah’ ide-ide Romo Mangun dalam relokasi SDKE Mangunan.
Adanya relokasi SDKE Mangunan menjadi satu area menghilangkan keunikan SDKE yang siswanya belajar di tengah-tengah masyarakat. Namun akhirnya muncul pemikiran tentang menjadikan siswa-siswi SDKE sebagai miniatur masyarakat, sekaligus melibatkan masyarakat dalam pembelajaran sehari-hari sesuai pemikiran Romo Mangun yang diterjemahkan Pak Sito sebagai “anak-anak lahir dari masyarakat dan akan menjadi bagian dari masyarakat”.
Proses relokasi dilakukan dengan melibatkan masyarakat Dusun Mangunan yang rata-rata bekerja sebagai buruh serabutan dengan menjadi tukang bangunan. Adanya relokasi ini tidak serta merta menjadikan siswa-siswi akhirnya belajar dalam suatu bangunan massif. Konsep miniature masyarakat diaplikasikan dengan cara membentuk kelas-kelas terpisah yang berbentuk joglo-joglo dengan analogi tiap kelas merupakan sebuah RT yang saling peduli satu sama lain baik kepada sesame anggota RT (teman dalam satu kelas) maupun dengan RT lain (teman dari kelas yang berbeda). Kumpulan RT ini memiliki fasilitas masing-masing seperti kelas dan kamar mandi juga fasilitas umum seperti lapangan bermain, kantin, perpustakaan, ruang serbaguna, dan lainnya yang harus dirawat bersama-sama.
Tiap-tiap bangunan memiliki detail yang mendukung jiwa eksploratif anak seperti bentuk joglo yang berbeda-beda pada tiap kelas dengan dinding dari gedhek berbagai motif. Jendela pun tak lepas dari perhatian. Botol-botol bekas dijadikan partisi sebagai shading yang tetap memasukkan aliran udara ke dalam kelas. Botol-botol ini pun dapat diisi dengan air oleh siswa sehingga menghasilkan suara sebagai sarana belajar. Pak Sito memahami betul pemikiran Romo Mangun mengenai sumber belajar bahwa pada dasarnya segala sesuatu dapat dijadikan sarana belajar tergantung bagaimana cara manusia menyikapinya secara positif atau negatif. Begitu pun
lokasi SDKE yang berdekatan dengan rel kereta api. Awalnya hal ini dipertanyakan karena akan adanya kebisingan yang ditimbulkan ketika pengajaran, namun Pak Sito sendiri mengemukakan bahwa justru rel kereta api itulah yang juga akan menjadi sumber belajar siswa untuk mengenal kereta.
Sistem pembelajaran SDKE yang eksploratif pada akhirnya membuka kesempatan bagi masyarakat Dusun Mangunan untuk menjadi ‘guru’ untuk siswa-siswi sebagai tempat bertanya ketika pembelajaran di luar kelas seperti di sawah. Gagasan-gagasan lain mengenai keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan siswa seperti menjadi penjaga kolam kelas apung yang ada di komplek sekolah sekaligus mau menjadi ‘guru’ ketika siswa mengeluarkan sikap eksploratifnya dengan bertanya, menjadikan masyarakat sebagai supplier makanan yang dijual di kantin sehingga membantu meningkatkan ekonomi masyarkata sekitar, menjadi penjaga perpustakaan di luar jam sekolah, dan lain-lain. SDKE yang dibangun tanpa pagar memiliki arti tidak adanya batas antara masyarakat maupun siswa-siswi SDKE. Diharapkan SDKE dapat menjadi fasilitas warga untuk mewadahi kegiatan masyarakat yang sebelumnya tidak ada seperti ruang serbaguna sebagai bale warga, perpustakaan yang juga terbuka bagi masyarakat, dan tempat bermain untuk anak-anak Dusun Mangunan. Komunitas seni karawitan Dusun Mangunan pun dapat dihidupkan kembali berlatih nggamel menggunakan fasilitas gamelan milik SDKE setelah sebelumya sempat vakum akibat ketiadaan gamelan.
SDKE Mangunan merupakan sebuah intervensi di Dusun Mangunan dalam bidang pendidikan. Intervensi yang dilakukan melalui pendidikan karakter dan mental anak-anak yang merupakan cikal bakal masyarkat. Pendidikan usia dini diharapkan yang akan menjadi pondasi yang kuat untuk perkembangan selanjutnya. Dengan pendidikan semacam inin, anak-anak diharapkan untuk mampn menjadi leader di dalam kehidupan bermasyarakat Dusun Mangunan, juga masyarakat luas. Diawali dari Dusun Mangunan, kemudian menjadi virus positif pengembangan karakter dan mental untuk hidup bermasyarakat di Indonesia.
***
Daftar Pustaka
Boedojo, Poedio, dkk. 1986. Arsitektur, Manusia, dan Pengamatannya. Jakarta : Djambatan
https://sdkemangunan.wordpress.com/